Selasa, 15 Desember 2015

KAJIAN FILSAFAT



Jika anda tidak puas dengan jawaban dari agama, ataupun dari tradisi anda, maka belajar filsafat adalah sesuatu yang mesti anda lakukan. Setidaknya dengan mempelajari filsafat, anda bisa menemukan metode yang lebih tepat untuk memahami dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tersebut.
APAKAH FILSAFAT?
Filsafat adalah suatu tindakan, suatu aktivitas. Filsafat adalah aktivitas untuk berpikir secara mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup manusia (apa tujuan hidup, apakah Tuhan ada, bagaimana menata organisasi dan masyarakat, serta bagaimana hidup yang baik), dan mencoba menjawabnya secara rasional, kritis, dan sistematis.
Untuk catatan, filsafat sudah ada lebih dari 2000 tahun, dan belum bisa (tidak akan pernah bisa) memberikan jawaban yang pasti dan mutlak, karena filsafat tidak memberikan jawaban mutlak, melainkan menawarkan alternatif cara berpikir.
Ketika belajar filsafat, anda akan berjumpa dengan pemikiran para filsuf besar sepanjang sejarah manusia. Sebut saja nama-nama pemikir besar itu, seperti Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Thomas Aquinas, dan Jacques Derrida. Pemikiran mereka telah membentuk dunia, sebagaimana kita pahami sekarang ini.
Beberapa mata kuliah yang diajarkan adalah filsafat moral, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat budaya, filsafat politik, filsafat sejarah, logika, eksistensialisme, dan sebagainya. Anda juga akan diajak memikirkan soal keadilan global, teori-teori demokrasi, dan etika biomedis. Untuk para profesional, filsafat juga amat berguna untuk memperluas wawasan berpikir.
KEMAMPUAN-KEMAMPUAN PENTING
Dengan belajar filsafat, anda akan mendapatkan beberapa ketrampilan berikut; memikirkan suatu masalah secara mendalam dan kritis, membentuk argumen dalam bentuk lisan maupun tulisan secara sistematis dan kritis, mengkomunikasikan ide secara efektif, dan mampu berpikir secara logis dalam menangani masalah-masalah kehidupan yang selalu tak terduga.
            Dengan belajar filsafat, anda akan dilatih menjadi manusia yang utuh, yakni yang mampu berpikir mendalam, rasional, komunikatif. Apapun profesi anda, kemampuan-kemampuan ini amat dibutuhkan. Di sisi lain, dengan belajar filsafat, anda juga akan memiliki pengetahuan yang luas, yang merentang lebih dari 2000 tahun sejarah manusia.
Kemampuan berpikir logis dan abstrak, kemampuan untuk membentuk argumen secara rasional dan kritis, serta kemampuan untuk menyampaikan ide secara efektif, kritis, dan rasional, akan membuat anda mampu berkarya di berbagai bidang, mulai dari bidang informasi-komunikasi, jurnalistik, penerbitan, konsultan, pendidikan, agamawan, ataupun menjadi wirausaha.
Para pengacara, praktisi hukum, praktisi pendidikan, pemuka agama, maupun praktisi bisnis akan mendapatkan wawasan yang amat luas, yang amat berguna untuk mengembangkan diri dan profesi mereka. Jika anda sungguh ingin mendalami filsafat, anda bisa melanjutkan studi sampai pada level master dan doktoral, dan kemudian mengajar di bidang filsafat.
KEMAMPUAN-KEMAMPUAN KHUSUS
Dengan belajar filsafat, anda akan mampu melihat masalah dari berbagai sisi, berpikir kreatif, kritis, dan independen, mampu mengatur waktu dan diri, serta mampu berpikir fleksibel di dalam menata hidup yang terus berubah.
Filsafat mengajak anda untuk memahami dan mempertanyakan ide-ide tentang kehidupan, tentang nilai-nilai hidup, dan tentang pengalaman kita sebagai manusia. Berbagai konsep yang akrab dengan hidup kita, seperti tentang kebenaran, akal budi, dan keberadaan kita sebagai manusia, juga dibahas dengan kritis, rasional, serta mendalam.
Filsafat itu bersifat terbuka. Sekali lagi, filsafat tidak memberikan jawaban mutlak yang berlaku sepanjang masa. Filsafat menggugat, mempertanyakan, dan mengubah dirinya sendiri. Ini semua sesuai dengan semangat pendidikan yang sejati.
Filsafat mengajarkan kita untuk melakukan analisis, dan mengemukakan ide dengan jelas serta rasional. Filsafat mengajarkan kita untuk mengembangkan serta mempertahankan pendapat secara sehat, bukan dengan kekuatan otot, atau kekuatan otoritas politik semata.
Filsafat adalah komponen penting kepemimpinan. Dengan belajar berpikir secara logis, seimbang, kritis, sistematis, dan komunikatif, anda akan menjadi seorang pemimpin ideal, yang amat dibutuhkan oleh berbagai bidang di Indonesia sekarang ini.
BIDANG TELAAH FILSAFAT
Apakah yang ditelaah filsafat?
Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka filsafat menelaah segala masalah yang yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pioneer, filsafat mempermasalahkan hal-hal yang pokok. Terjawab masalah yang satu, filsafat pun mulai merambah kepada pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Dalam tiap kurun zaman, tentu saja mempunyai masalah-masalah yang merupakan "mode" pada waktu itu. Filsafat yang sedang pop dewasa ini, mungkin mengenai UFO; apakah cuma kita satu-satunya "manusia" yang menghuni semesta ini ? Sekiranya diperkirakan terdapat 60 planet yang mempunyai kondisi seperti bumi, apakah cuma kita yang berpenghuni ? Mungkinkah surga dan neraka berada di jagat raya ini meskipun di galaksi lain ? Ataukah benda-benda langit itu pernah berpenghuni dan saling menghancurkan setelah mencapai abad teknologi nuklir ? (Bacalah buku Carl Sagan yang berjudul The Cosmic Connection, sebagai hiburan di waktu senggang).
Selaras dengan usaha peningkatan kemampuan penalaran manusia, maka Filsafat Ilmu pun menjadi ngetop. Sedangkan dalam masa-masa mendatang, maka yang akan menjadi perhatian khalayak ramai, kemungkinan bukan lagi filsafat ilmu, melainkan Filsafat Moral yang "berkaitan" dengan ilmu.
Seorang professor yang penuh humor, mendekat permasalahan yang dikaji filsafat dengan sajak seperti berikut :

                    What is a man ?
                    What is ?
                    What ?

Maksudnya adalah, bahwa dalam hal ini ada terdapat 3 tahapan untuk menyikapi permasalahan-permasalahan tersebut, yakni :

Tahap Pertama
Pada tahap mula sekali, filsafat mempersoalkan siapakah manusia itu : Hallo, siapa kau ? Tahap ini dapat dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filsafat sejak zaman Yunani Kuno sampai sekarang yang rupa-rupanya tak kunjung selesai mempermasalahkan makhluk yang satu ini. Kadang kurang kita sadari, bahwa tiap ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial (social sciences), mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang menjadi lakon utama dalam kajian keilmuannya. Mungkin ada baiknya jika kita mengambil contoh yang agak berdekatan, yakni ilmu ekonomi dan manajemen. Kedua ilmu ini mempunyai asumsi yang berbeda-beda tentang manusia.

Ilmu ekonomi, misalnya, mempunyai asumsi bahwa manusia adalah makhluk ekonomi, yang bertujuan mencari kenikmatan sebesar-besarnya dan menjauhi ketidaknyamanan semungkin bisa. Dia adalah makhluk hedonis yang tak pernah merasa cukup. Atau dalam proposisi ilmiahnya : mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Sedangkan ilmu manajemen, mempunyai asumsi yang berbeda tentang manusia. Karena bidang telaahan ilmu manajemen, lain halnya dengan ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi, bertujuan menelaah hubungan manusia dengan barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan ilmu manajemen, bertujuan untuk menelaah tentang "kerja sama" antar sesama manusia, untuk mencapai suatu tujuan yang disetujui bersama (atau dengan kata lain, musyawarah untuk mufakat).

Cocokkah asumsi bahwa manusia adalah Homo Oeconomicus bagi manajemen yang tujuannya menelaah "kerja sama" antar sesama manusia ? Saya rasa, TIDAK ! Apakah motif ekonomis yang mendorong seseorang untuk ikut menjadi sukarelawan memberantas kemiskinan dan kebodohan ? Saya rasa, juga BUKAN ! Dan untuk itu, ilmu manajemen mempunyai beberapa asumsi tentang manusia tergantung dari perkembangan dan lingkungannya masins-masing; seperti makhluk ekonomi, makhluk sosial, dan makhluk aktualisasi diri.

Mengkaji permasalahan-permasalahan manajemen dengan asumsi manusia dalam kegiatan ekonomis, bisa menyebabkan timbulnya kekacauan dalam analisis yang bersifat akademik. Demikian juga, mengkaji permasalahan-permasalahan ekonomi dengan asumsi yang lain di luar makhluk ekonomi (katakanlah makhluk sosial, seperti asumsi dalam manajemen), bisa menjadikan ilmu ekonomi menjadi moral terapan, mundur sekian ratus tahun ke Abad Pertengahan. Sayang, bukan....???

"....The right (assumption of) man on the right place....". Mungkin kalimat ini perlu kita gantung di tiap-tiap pintu masing-masing disiplin keilmuan.

Tahap Kedua
Tahap yang kedua ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkisar tentang ada (wujud), tentang hidup, dan tentang eksistensi manusia. Apakah hidup ini sebenarnya ? Apakah hidup itu hanya sekedar peluang dengan nasib yang melempar dadu acak (random) ? Bila asumsi Tuhan itu adil, maka penciptaan haruslah diacak. Bila asumsi Tuhan itu adil, Tuhan tidak melempar dadu. (Nah, disinilah salah satu letak perbedaan antara ni'mat (nikmat) dengan istidroj). Ataukah hidup ini sama sekali absurd, tanpa arah tanpa bentuk, bagaikan amoeba yang berzigzag ? Dan nasib adalah bagaikan sibernetik dengan "umpan balik" pilihan probabilistik ? Atau barangkali suatu maksud ?

Ketika 2 abad berselang setelah Bruder Juniper menciptakan sastra klasiknya, yakni The Bridge of San Luis Rey yang sangat termasyhur itu, satu-satunya jembatan yang paling indah di seluruh Peru ambruk, hingga melemparkan 5 orang ke dalam jurang yang sangat dalam itu. Adalah hal yang sangat sulit untuk mengetahui kehendak Tuhan, namun sama sekali tidak berarti bahwa hal ini tidak akan pernah bisa kita ketahui, dan mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah berpihak kepada kita, hingga mengatakan bahwa Tuhan terhadap kita adalah bagaikan lalat yang dibunuh kanak-kanak pada suatu hari di musim panas. (Bacalah buku Fajar Kurnia Harseno yang berjudul Introspeksi, sebagai bacaan di waktu senggang, agar kita tak terlalu jauh belok dari tikungan per-empat-an tadi. Barangkali kita "salah jalan".

               Dengan nasib jadi algojo yang kejam;
               memaku mimpi,
               harapan, kasih sayang;
               cemas, bimbang, rengkah,
               nafsu;
               di atas kayu silang ?!

Ah, spekulasi macam begini hanya omong kosong percuma yang buang-buang waktu saja.

               O science metaphysical
               And very very quizzical
               You only make this maze of life the mazier....

Mungkin ada seorang ilmuwan berkata : "Sama sekali tidak ada hubungannya dengan permasalahan keilmuan Saya....". (Hmm..., dikiranya ilmu itu cuma rumus-rumus, laboratorium, teori, itu saja !). Dan ketika  laboratorium riset genetika menghasilkan penemuan yang menyangkut hari depan manusia, akankah dia cuma mengangkat bahu dan berkata : "Mengapa ribut-ribut ? Bikin saja semua manusia IQ-nya 160 secara massal, habis perkara !". (Aduh, ilmuwan macam begini bukan saja picik, namun juga berbahaya. Dia benar-benar tidak tahu di tidaktahunya).

Namunpun demikian, jika kita ingin menggumuli permasalahan-permasalahan semacam itu; baik tentang genetika, social engineering, atau bahkan bayi tabung; maka asas-asasnya tidak terdapat dalam ruang lingkup teori-teori ilmiah. Kita harus berpaling kepada filsafat (bukan berpaling dari filsafat), kemudian memilih-milih landasan moral; apakah suatu kegiatan ilmiah secara etis dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Tahap Ketiga
Tahap pertama beres, tahap kedua juga beres. Nah, pada tahap yang ketiga ini skenarionya bermula pada suatu pertemuan ilmiah "tingkat tinggi", dimana seorang ilmuwan berbicara panjang lebar ngalor ngidul tentang suatu penemuan ilmiah dalam risetnya. Setelah berjam-jam dia bicara, dia pun menyeka keringatnya, dan berkata kepada hadirin : "Adakah kiranya yang belum jelas ?". Salah seorang bangkit dan seperti seorang yang pekak memasang kedua belah tangan di samping telinganya : "Apa....??!". (Waah, rupanya sejak tadi dia tak mendengarkan apa-apa).

Memang, pemuda yang satu itu sejak tadi tidak mendengarkan apa-apa, sebab tidak tertarik mendengarkan apa-apa, karena tidak ada apa-apa yang berharga untuk didengarkan. Pemuda nyentrik nan keren itu, baru mau mendengarkan pendapat yang bersifat ilmiah, jika pendapat itu dikemukakan lewat cara/proses/prosedur ilmiah. Jadi meskipun seorang pembicara mengutip pendapat sekian pemenang hadiah Nobel, mengemukakan sekian fakta yang aktual; namun bila bagi dia tidak jelas yang mana masalah yang mana hipotesis, yang mana kerangka pemikiran yang mana kesimpulan, yang keseluruhannya terkait dan tersusun dalam penalaran ilmiah, bagi dia tetap saja semua itu hanya sekedar GIGO (maksudnya keluar dari telinga kiri G dan keluar telinga kanan juga G). G-(arbage)-In-G-(arbage)-Out : pemeo dalam bahasa komputer bahwa input bagi komputer itu sampah, maka yang keluarnyapun juga sampah.
Filsuf kelahiran Austria, yakni Ludwig Josef Johann Wittgenstein, atau yang lebih akrab dengan nama LUDWIG VON WITTGENSTEIN (1889-1951) dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus mengatakan : "Tugas utama filsafat bukanlah sekedar menghasilkan sesusun pernyataan filsafati, tetapi juga menyatakan sebuah pernyataan sejelas mungkin. Masalah filsafat sebenarnta adalah masalah bahasa". Nah, dengan demikian maka epistemologi dan bahasa merupakan gumulan utama para filsuf dalam tahap ini. Bahasa, termasuk juga matematika, yang secara filsafati bukan cuma merupakan ilmu, melainkan sebagai bahasa non-verbal. Adalah merupakan pokok pengkajian filsafat sejak abad 20 kemarin.
Jika masih ada ahli teknologi yang memandang  rendah terhadap bahasa, maka kemungkinan besar dia sudah terlalu jauh "ketinggalan kereta". (Ketiduran barangkali...!). Bukankah ada peribahasa mengatakan : Batas bahasaku adalah batas duniaku? Semoga ilmuwan ini tidak bertemu dengan orang pekak yang katanya menjengkelkan itu; yang tanpa timbang rasa melemparkan segerobak pendapat kita ke tong sampah. Hancur jadi abu !
Bahkan pernah, ungkapan rasa jengkel seorang penguji kepada seorang promovendus : "Masalah utama dengan disertasi Anda, ialah bahwa Anda berlaku seperti seorang pemborong bahan banguna, dan bukan arsitek yang membangun gedung. Memang batanya banyak sekali, bertumpuk di sana sini, tapi tidak merupakan dinding; kayunya menumpuk sekian meter kubik, namun tidak merupakan atap. Sebagai ilmuwan, Anda harus membangun kerangka dengan bahan-bahan tersebut, kerangka pemikiran yang original dan meyakinkan, disemen dengan penalaran dan pembuktian yang tidak meragukan.
Cabang dan Aliran Filsafat
Filsafat adalah sebagai induk yang mencakup semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri dari induknya, filsafat. Namun, dengan begitu muncullah filsafat baru yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.
Menurut Suriasumantri (2000:32), pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang utama filsafat ini bertambah lagi yakni, tentang teori ada, tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat keberadaan zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika dan cabang-cabang tersebut terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut, Suriasumantri (2001:35) terdapat tiga landasan filsafat. Ketiga landasan itu yaitu ontologis,  epistemologi, dan aksiologis. Apa yang dikaji oleh pengetahuan (ontology)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan itu (epistemology) serta untuk apa pengetahuan dipergunakan?

1. Ontologi
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
2. Epistemologi
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidaklah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan? Istilah Epistemologi dipakai pertama kali oleh J.F. Feriere.  adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan. Aliran ini mencoba menjawab pertanyaan, bagaimana manusia mendapat pengetahuannya sehingga pengetahuan itu benar dan berlaku. Pada garis besarnya ada beberapa paham pengetahuan, antara lain: emperisme, idealisme, kritisisme, dan rasionalisme (Sudarsono, 1993:157).
3. Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Aksiologi  adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik-buruk (moral dan etika). Objek material aksiologi adalah perbuatan atau tingkah laku manusia secara sadar dan bebas. Pada hakikatnya aksiologi erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Apabila dikaji secara mendalam tujuan perbuatan manusia adalah kebahagiaan. Karena kekomplekan kajian tentang etika, maka muncullah beberapa paham yang kajiannya menitik beratkan kepada perbuatan manusia untuk mencapai kebahagiaan. Paham-paham tersebut antara lain : naturalisme, hedonisme, idealisme, perfectionism, theologies, dll (Sudarsono, 1993:197—206).
Aliran-Aliran Lainnya dalam Filsafat
Menurut Praja (2003:91—189) aliran-aliran lainnya dalam filsafat, yaitu
1. Positivisme
Positivisme berasal dari kata “positif”, yang artinya dengan factual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan tidak boleh melebihi fakta. Positivisme hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
Positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Hanya saja, positivisme mengandalkan fakta-fakta belaka bukan berdasarkan pengalaman, seperti empirisme. Tokoh aliran positivisme, antara lain: Auguste Comte (1798-1857).
2. Intusionalisme
Intusionalisme adalah suatu aliran atau faham yang menganggap bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi termasuk salah satu kegiatan berfikir yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi Intuisi adalah non-analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola berfikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan perasaan. Tokoh aliran intusionalisme, antara lain: Plotinos (205 -270) dan Henri Bergson (1859 -1994).
3. Fenomenalisme
Secara harfiah, fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa Fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang Fenomenalisme suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi.
Serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung.
4. Sekularisme
Sekularisme merupakan suatu proses pembebasan manusia dalam berpikirnya dan dalam berbagai aspek kebudayaan dari segala yang bersifat keagamaan dan metafisika, sehingga bersifat duniawi belaka. Sekularisme bertujuan memberi interpretasi atau pengertian terhadap kehidupan manusia tanpa percaya kepada Tuhan, kitab suci dan hari kemudian. Tokoh aliran sekularisme adalah George Jacob Holyoake (1817-1906).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar