Jika anda tidak
puas dengan jawaban dari agama, ataupun dari tradisi anda, maka belajar
filsafat adalah sesuatu yang mesti anda lakukan. Setidaknya dengan mempelajari
filsafat, anda bisa menemukan metode yang lebih tepat untuk memahami dan
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tersebut.
APAKAH FILSAFAT?
Filsafat adalah
suatu tindakan, suatu aktivitas. Filsafat adalah aktivitas untuk berpikir
secara mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup manusia (apa
tujuan hidup, apakah Tuhan ada, bagaimana menata organisasi dan masyarakat,
serta bagaimana hidup yang baik), dan mencoba menjawabnya secara rasional,
kritis, dan sistematis.
Untuk catatan,
filsafat sudah ada lebih dari 2000 tahun, dan belum bisa (tidak akan pernah
bisa) memberikan jawaban yang pasti dan mutlak, karena filsafat tidak
memberikan jawaban mutlak, melainkan menawarkan alternatif cara berpikir.
Ketika belajar
filsafat, anda akan berjumpa dengan pemikiran para filsuf besar sepanjang
sejarah manusia. Sebut saja nama-nama pemikir besar itu, seperti Plato,
Aristoteles, Immanuel Kant, Thomas Aquinas, dan Jacques Derrida. Pemikiran
mereka telah membentuk dunia, sebagaimana kita pahami sekarang ini.
Beberapa mata
kuliah yang diajarkan adalah filsafat moral, filsafat ilmu pengetahuan,
filsafat budaya, filsafat politik, filsafat sejarah, logika, eksistensialisme,
dan sebagainya. Anda juga akan diajak memikirkan soal keadilan global,
teori-teori demokrasi, dan etika biomedis. Untuk para profesional, filsafat
juga amat berguna untuk memperluas wawasan berpikir.
KEMAMPUAN-KEMAMPUAN
PENTING
Dengan belajar
filsafat, anda akan mendapatkan beberapa ketrampilan berikut; memikirkan suatu
masalah secara mendalam dan kritis, membentuk argumen dalam bentuk lisan maupun
tulisan secara sistematis dan kritis, mengkomunikasikan ide secara efektif, dan
mampu berpikir secara logis dalam menangani masalah-masalah kehidupan yang
selalu tak terduga.
Dengan belajar filsafat, anda akan dilatih menjadi manusia yang utuh,
yakni yang mampu berpikir mendalam, rasional, komunikatif. Apapun profesi anda,
kemampuan-kemampuan ini amat dibutuhkan. Di sisi lain, dengan belajar filsafat,
anda juga akan memiliki pengetahuan yang luas, yang merentang lebih dari 2000
tahun sejarah manusia.
Kemampuan
berpikir logis dan abstrak, kemampuan untuk membentuk argumen secara rasional
dan kritis, serta kemampuan untuk menyampaikan ide secara efektif, kritis, dan
rasional, akan membuat anda mampu berkarya di berbagai bidang, mulai dari
bidang informasi-komunikasi, jurnalistik, penerbitan, konsultan, pendidikan,
agamawan, ataupun menjadi wirausaha.
Para pengacara,
praktisi hukum, praktisi pendidikan, pemuka agama, maupun praktisi bisnis akan
mendapatkan wawasan yang amat luas, yang amat berguna untuk mengembangkan diri
dan profesi mereka. Jika anda sungguh ingin mendalami filsafat, anda bisa
melanjutkan studi sampai pada level master dan doktoral, dan kemudian mengajar
di bidang filsafat.
KEMAMPUAN-KEMAMPUAN
KHUSUS
Dengan belajar
filsafat, anda akan mampu melihat masalah dari berbagai sisi, berpikir kreatif,
kritis, dan independen, mampu mengatur waktu dan diri, serta mampu berpikir
fleksibel di dalam menata hidup yang terus berubah.
Filsafat
mengajak anda untuk memahami dan mempertanyakan ide-ide tentang kehidupan,
tentang nilai-nilai hidup, dan tentang pengalaman kita sebagai manusia.
Berbagai konsep yang akrab dengan hidup kita, seperti tentang kebenaran, akal
budi, dan keberadaan kita sebagai manusia, juga dibahas dengan kritis,
rasional, serta mendalam.
Filsafat itu
bersifat terbuka. Sekali lagi, filsafat tidak memberikan jawaban mutlak yang
berlaku sepanjang masa. Filsafat menggugat, mempertanyakan, dan mengubah
dirinya sendiri. Ini semua sesuai dengan semangat pendidikan yang sejati.
Filsafat
mengajarkan kita untuk melakukan analisis, dan mengemukakan ide dengan jelas
serta rasional. Filsafat mengajarkan kita untuk mengembangkan serta
mempertahankan pendapat secara sehat, bukan dengan kekuatan otot, atau kekuatan
otoritas politik semata.
Filsafat adalah
komponen penting kepemimpinan. Dengan belajar berpikir secara logis, seimbang,
kritis, sistematis, dan komunikatif, anda akan menjadi seorang pemimpin ideal,
yang amat dibutuhkan oleh berbagai bidang di Indonesia sekarang ini.
BIDANG TELAAH FILSAFAT
Apakah yang
ditelaah filsafat?
Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka filsafat
menelaah segala masalah yang yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai
dengan fungsinya sebagai pioneer,
filsafat mempermasalahkan hal-hal yang pokok. Terjawab masalah yang satu,
filsafat pun mulai merambah kepada pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Dalam tiap kurun zaman, tentu saja mempunyai masalah-masalah
yang merupakan "mode" pada waktu itu. Filsafat yang sedang pop dewasa
ini, mungkin mengenai UFO;
apakah cuma kita satu-satunya "manusia" yang menghuni semesta ini ?
Sekiranya diperkirakan terdapat 60 planet yang mempunyai kondisi seperti bumi,
apakah cuma kita yang berpenghuni ? Mungkinkah surga dan neraka berada di jagat
raya ini meskipun di galaksi lain ? Ataukah benda-benda langit itu pernah
berpenghuni dan saling menghancurkan setelah mencapai abad teknologi nuklir ?
(Bacalah buku Carl Sagan yang berjudul The
Cosmic Connection, sebagai hiburan di waktu senggang).
Selaras dengan usaha peningkatan kemampuan penalaran
manusia, maka Filsafat Ilmu pun menjadi ngetop.
Sedangkan dalam masa-masa mendatang, maka yang akan menjadi perhatian khalayak
ramai, kemungkinan bukan lagi filsafat ilmu, melainkan Filsafat Moral yang "berkaitan" dengan ilmu.
Seorang professor yang penuh humor, mendekat permasalahan
yang dikaji filsafat dengan sajak seperti berikut :
What is a man ?
What is ?
What ?
Maksudnya adalah, bahwa dalam hal ini ada terdapat 3 tahapan
untuk menyikapi permasalahan-permasalahan tersebut, yakni :
Tahap Pertama
Pada tahap
mula sekali, filsafat mempersoalkan siapakah manusia itu : Hallo, siapa kau ? Tahap ini dapat
dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filsafat sejak zaman Yunani Kuno
sampai sekarang yang rupa-rupanya tak kunjung selesai mempermasalahkan makhluk
yang satu ini. Kadang kurang kita sadari, bahwa tiap ilmu, terutama ilmu-ilmu
sosial (social sciences),
mempunyai asumsi tertentu
tentang manusia yang menjadi lakon utama dalam kajian keilmuannya. Mungkin ada
baiknya jika kita mengambil contoh yang agak berdekatan, yakni ilmu ekonomi dan manajemen. Kedua ilmu ini mempunyai asumsi yang berbeda-beda
tentang manusia.
Ilmu ekonomi, misalnya, mempunyai asumsi
bahwa manusia adalah makhluk ekonomi, yang bertujuan mencari kenikmatan
sebesar-besarnya dan menjauhi ketidaknyamanan semungkin bisa. Dia adalah
makhluk hedonis yang tak pernah
merasa cukup. Atau dalam proposisi ilmiahnya : mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Sedangkan ilmu manajemen,
mempunyai asumsi yang berbeda tentang manusia. Karena bidang telaahan ilmu
manajemen, lain halnya dengan ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi, bertujuan menelaah hubungan manusia dengan barang atau
jasa yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan ilmu manajemen, bertujuan untuk menelaah
tentang "kerja sama" antar sesama manusia, untuk mencapai suatu
tujuan yang disetujui bersama (atau dengan kata lain, musyawarah untuk mufakat).
Cocokkah
asumsi bahwa manusia adalah Homo
Oeconomicus bagi manajemen yang tujuannya menelaah "kerja
sama" antar sesama manusia ? Saya rasa, TIDAK ! Apakah motif ekonomis yang
mendorong seseorang untuk ikut menjadi sukarelawan
memberantas kemiskinan dan kebodohan ? Saya rasa, juga BUKAN ! Dan untuk itu,
ilmu manajemen mempunyai beberapa asumsi
tentang manusia tergantung dari perkembangan dan lingkungannya masins-masing;
seperti makhluk ekonomi, makhluk
sosial, dan makhluk aktualisasi diri.
Mengkaji
permasalahan-permasalahan manajemen dengan asumsi manusia dalam kegiatan
ekonomis, bisa menyebabkan timbulnya kekacauan dalam analisis yang bersifat akademik. Demikian juga, mengkaji
permasalahan-permasalahan ekonomi dengan asumsi yang lain di luar makhluk
ekonomi (katakanlah makhluk sosial,
seperti asumsi dalam manajemen), bisa menjadikan ilmu ekonomi menjadi moral terapan, mundur sekian ratus
tahun ke Abad Pertengahan. Sayang, bukan....???
"....The right (assumption of) man on the
right place....". Mungkin kalimat ini perlu kita gantung di
tiap-tiap pintu masing-masing disiplin keilmuan.
Tahap Kedua
Tahap yang
kedua ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkisar tentang ada (wujud), tentang hidup, dan tentang eksistensi manusia. Apakah hidup ini
sebenarnya ? Apakah hidup itu hanya sekedar peluang dengan nasib yang melempar
dadu acak (random) ? Bila
asumsi Tuhan itu adil, maka penciptaan haruslah diacak. Bila asumsi Tuhan itu
adil, Tuhan tidak melempar dadu. (Nah, disinilah salah satu letak perbedaan
antara ni'mat (nikmat) dengan istidroj). Ataukah hidup ini sama sekali absurd, tanpa arah tanpa bentuk,
bagaikan amoeba yang berzigzag
? Dan nasib adalah bagaikan sibernetik
dengan "umpan balik" pilihan probabilistik ? Atau barangkali suatu
maksud ?
Ketika 2
abad berselang setelah Bruder Juniper menciptakan sastra klasiknya, yakni The Bridge of San Luis Rey yang
sangat termasyhur itu, satu-satunya jembatan yang paling indah di seluruh Peru
ambruk, hingga melemparkan 5 orang ke dalam jurang yang sangat dalam itu.
Adalah hal yang sangat sulit untuk mengetahui kehendak Tuhan, namun sama sekali
tidak berarti bahwa hal ini tidak akan pernah bisa kita ketahui, dan mengatakan
bahwa Tuhan tidak pernah berpihak kepada kita, hingga mengatakan bahwa Tuhan
terhadap kita adalah bagaikan lalat yang dibunuh kanak-kanak pada suatu hari di
musim panas. (Bacalah buku Fajar Kurnia Harseno yang berjudul Introspeksi, sebagai bacaan di waktu
senggang, agar kita tak terlalu jauh belok
dari tikungan per-empat-an tadi. Barangkali kita "salah jalan".
Dengan nasib jadi algojo yang kejam;
memaku mimpi,
harapan, kasih sayang;
cemas, bimbang, rengkah,
nafsu;
di atas kayu silang ?!
Ah,
spekulasi macam begini hanya omong kosong percuma yang buang-buang waktu saja.
O science metaphysical
And very very quizzical
You only make this maze of life the mazier....
Mungkin
ada seorang ilmuwan berkata : "Sama
sekali tidak ada hubungannya dengan permasalahan keilmuan Saya....".
(Hmm..., dikiranya ilmu itu cuma rumus-rumus, laboratorium, teori, itu saja !).
Dan ketika laboratorium riset
genetika menghasilkan penemuan yang menyangkut hari depan manusia,
akankah dia cuma mengangkat bahu dan berkata : "Mengapa ribut-ribut ? Bikin saja semua manusia IQ-nya 160 secara
massal, habis perkara !". (Aduh, ilmuwan
macam begini bukan saja picik, namun juga berbahaya. Dia benar-benar tidak
tahu di tidaktahunya).
Namunpun
demikian, jika kita ingin menggumuli permasalahan-permasalahan semacam itu;
baik tentang genetika, social engineering, atau bahkan bayi tabung; maka
asas-asasnya tidak terdapat dalam ruang lingkup teori-teori ilmiah. Kita harus
berpaling kepada
filsafat (bukan
berpaling dari filsafat), kemudian memilih-milih landasan moral; apakah suatu
kegiatan ilmiah secara etis
dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Tahap Ketiga
Tahap pertama beres, tahap kedua juga beres. Nah, pada tahap yang
ketiga ini skenarionya bermula
pada suatu pertemuan ilmiah "tingkat tinggi", dimana seorang ilmuwan
berbicara panjang lebar ngalor ngidul
tentang suatu penemuan ilmiah dalam risetnya. Setelah berjam-jam dia bicara,
dia pun menyeka keringatnya, dan berkata kepada hadirin : "Adakah kiranya yang belum jelas ?".
Salah seorang bangkit dan seperti seorang yang pekak memasang kedua belah
tangan di samping telinganya : "Apa....??!".
(Waah, rupanya sejak tadi dia tak mendengarkan apa-apa).
Memang,
pemuda yang satu itu sejak tadi tidak
mendengarkan apa-apa, sebab tidak
tertarik mendengarkan apa-apa, karena tidak ada apa-apa yang berharga untuk didengarkan. Pemuda nyentrik
nan keren itu, baru mau
mendengarkan pendapat yang bersifat ilmiah, jika pendapat itu dikemukakan lewat
cara/proses/prosedur ilmiah. Jadi meskipun seorang pembicara mengutip pendapat
sekian pemenang hadiah Nobel,
mengemukakan sekian fakta yang aktual;
namun bila bagi dia tidak jelas yang mana masalah yang mana hipotesis, yang
mana kerangka pemikiran yang mana kesimpulan, yang keseluruhannya terkait dan
tersusun dalam penalaran ilmiah, bagi dia tetap saja semua itu hanya sekedar GIGO
(maksudnya keluar dari telinga kiri G dan keluar telinga kanan juga G). G-(arbage)-In-G-(arbage)-Out : pemeo
dalam bahasa komputer bahwa input bagi komputer itu sampah, maka yang
keluarnyapun juga sampah.
Filsuf
kelahiran Austria, yakni Ludwig Josef Johann Wittgenstein, atau yang lebih akrab
dengan nama LUDWIG
VON WITTGENSTEIN (1889-1951) dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus mengatakan : "Tugas utama filsafat bukanlah sekedar
menghasilkan sesusun pernyataan filsafati, tetapi juga menyatakan sebuah
pernyataan sejelas mungkin. Masalah filsafat sebenarnta adalah masalah bahasa".
Nah, dengan demikian maka epistemologi
dan bahasa merupakan gumulan
utama para filsuf dalam tahap ini. Bahasa,
termasuk juga matematika, yang
secara filsafati bukan cuma merupakan ilmu, melainkan sebagai bahasa non-verbal. Adalah merupakan pokok
pengkajian filsafat sejak abad 20 kemarin.
Jika masih
ada ahli teknologi yang memandang rendah terhadap bahasa, maka
kemungkinan besar dia sudah terlalu jauh "ketinggalan kereta".
(Ketiduran barangkali...!). Bukankah ada peribahasa mengatakan : Batas bahasaku adalah batas duniaku?
Semoga ilmuwan ini tidak bertemu dengan orang pekak yang katanya menjengkelkan
itu; yang tanpa timbang rasa melemparkan segerobak pendapat kita ke tong
sampah. Hancur jadi abu !
Bahkan
pernah, ungkapan rasa jengkel seorang penguji kepada seorang promovendus :
"Masalah utama dengan disertasi
Anda, ialah bahwa Anda berlaku seperti seorang pemborong bahan banguna, dan
bukan arsitek yang membangun gedung. Memang batanya banyak sekali, bertumpuk di
sana sini, tapi tidak merupakan dinding; kayunya menumpuk sekian meter kubik,
namun tidak merupakan atap. Sebagai ilmuwan, Anda harus membangun kerangka
dengan bahan-bahan tersebut, kerangka pemikiran yang original dan meyakinkan,
disemen dengan penalaran dan pembuktian yang tidak meragukan.
Cabang dan Aliran Filsafat
Filsafat adalah
sebagai induk yang mencakup semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan
selanjutnya ilmu-ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri dari induknya,
filsafat. Namun, dengan begitu muncullah filsafat baru yang memecahkan masalah
yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.
Menurut
Suriasumantri (2000:32), pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga
segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika),
mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta
apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga
cabang utama filsafat ini bertambah lagi yakni, tentang teori ada, tentang
hakikat keberadaan zat, tentang hakikat keberadaan zat dan pikiran yang
semuanya terangkum dalam metafisika dan cabang-cabang tersebut terus
berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut, Suriasumantri
(2001:35) terdapat tiga landasan filsafat. Ketiga landasan itu yaitu
ontologis, epistemologi, dan aksiologis. Apa yang dikaji oleh pengetahuan
(ontology)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan itu (epistemology) serta untuk
apa pengetahuan dipergunakan?
1. Ontologi
Objek telaah
ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat
pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di
gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran
semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi
semua realitas dalam semua bentuknya.
2. Epistemologi
Masalah epistemologi
bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan
dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui
batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang
pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat
menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti
pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan
bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang
memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak
memungkinkannya.
Manusia tidaklah memiliki
pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan
“bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan? Istilah Epistemologi dipakai
pertama kali oleh J.F. Feriere. adalah cabang filsafat yang membicarakan
tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,
batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan. Aliran ini mencoba
menjawab pertanyaan, bagaimana manusia mendapat pengetahuannya sehingga
pengetahuan itu benar dan berlaku. Pada garis besarnya ada beberapa paham
pengetahuan, antara lain: emperisme, idealisme, kritisisme, dan rasionalisme
(Sudarsono, 1993:157).
3. Aksiologi
Dewasa ini ilmu
bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan
penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi
namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan
perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai
tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu
sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup
itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan
ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan
Goethe.”
Menghadapi
kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana
adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam
ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan
ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang
telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran
perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk
menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya
sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun
dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan
teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar
mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh
ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber
pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat
keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang
terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama.
Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang
berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo
(1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut
pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Aksiologi
adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan baik-buruk (moral dan etika). Objek material
aksiologi adalah perbuatan atau tingkah laku manusia secara sadar dan bebas.
Pada hakikatnya aksiologi erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Apabila
dikaji secara mendalam tujuan perbuatan manusia adalah kebahagiaan. Karena
kekomplekan kajian tentang etika, maka muncullah beberapa paham yang kajiannya
menitik beratkan kepada perbuatan manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Paham-paham tersebut antara lain : naturalisme, hedonisme, idealisme,
perfectionism, theologies, dll (Sudarsono, 1993:197—206).
Aliran-Aliran
Lainnya dalam Filsafat
Menurut Praja
(2003:91—189) aliran-aliran lainnya dalam filsafat, yaitu
1.
Positivisme
Positivisme berasal dari kata “positif”, yang artinya dengan factual, yaitu
apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan tidak boleh
melebihi fakta. Positivisme hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang
terdapat antara fakta-fakta.
Positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme.
Hanya saja, positivisme mengandalkan fakta-fakta belaka bukan berdasarkan
pengalaman, seperti empirisme. Tokoh aliran positivisme, antara lain: Auguste
Comte (1798-1857).
2.
Intusionalisme
Intusionalisme
adalah suatu aliran atau faham yang menganggap bahwa intuisi (naluri/perasaan)
adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi termasuk salah satu kegiatan
berfikir yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi Intuisi adalah non-analitik
dan tidak didasarkan atau suatu pola berfikir tertentu dan sering bercampur
aduk dengan perasaan. Tokoh aliran intusionalisme, antara lain: Plotinos (205
-270) dan Henri Bergson (1859 -1994).
3.
Fenomenalisme
Secara harfiah, fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap
bahwa Fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang
Fenomenalisme suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif
yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi.
Serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang
yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang
evidensi yang langsung.
4.
Sekularisme
Sekularisme merupakan suatu proses pembebasan manusia dalam berpikirnya
dan dalam berbagai aspek kebudayaan dari segala yang bersifat keagamaan dan
metafisika, sehingga bersifat duniawi belaka. Sekularisme bertujuan memberi
interpretasi atau pengertian terhadap kehidupan manusia tanpa percaya kepada
Tuhan, kitab suci dan hari kemudian. Tokoh aliran sekularisme adalah George
Jacob Holyoake (1817-1906).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar