Selasa, 01 Desember 2015

JURNAL SUKU BADUY

ABSTRAK
Baduy, adalah nama dari sebuah suku yang berada di provinsi banten, baduy adalah salah satu suku yang masih menjaga erat nilai dan norma serta tradisi atau adat istiadat masyarakatnya. Suku baduy termasuk salah satu suku yang terisolir yang ada di Indonesia, masyarakat baduy sengaja mengasingkan diri, mereka hidup mandiri dengan tidak mengharapkan bantuan dari orang luar, mereka mengasingkan diri dan menutup diri dengan tujuan menghindar dari pengaruh budaya luar yang akan masuk.
Suku baduy sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni, mereka selalu menjaga dan merawat alam supaya dapat terus dikelola dengan baik, sehingga dapat memberikan hasil panen yang cukup dan melimpah untuk menghidupi kebutuhan hidup mereka, mereka tidak ingin merusak kelestarian alam yang ada.
Ditengah-tengah gempuran modernitas dan globalisasi saat ini, suku baduy berusaha untuk menjaga nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya. Kearifan lokal yang diterapkan dimasyarakat baduy memberikan banyak pelajaran berharga untuk masyarakat kita yang sudah banyak sekali termakan oleh modernitas, oleh karena itu banyak sekali baik individu atau kelompok yang datang dan berkunjung ke suku baduy baik untuk melihat keindahan alam, maupun belajar akan nilai-nilai kearifan lokal yang ada dimasyarakat suku baduy. Hebatnya lagi adalah kemampuan suku baduy untuk bisa mempertahankan kebudayaanya dari kebudayaan-kebudayaan luar yang masuk melalui para pengunjung yang datang.
Kata kunci: Suku Baduy, Kearifan Lokal, Modernitas.
1.      Latar Belakang
Suku baduy, terletak di desa Kanekes terletak di gunung Kendeng yang sebagian wilayahnya adalah hutan. Wilayah ini termasuk kedalam Propinsi Banten, tepatnya di Kabupaten Lebak Kecamatan Leuidamar. Kelompok masyarakat Adat Sunda tersebut terdiri dari Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam, keduanya sama-sama tinggal di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Provinsi Banten. Suku Baduy sudah sekian lama mendiami desa tersebut.
Sebutan kata Baduy untuk masyarakat desa Kanekes sebenarnya bukan dari mereka sendiri tetapi masyarakat luar yang menyebutnya sehingga lama kelamaan menjadi sebutan bagi mereka, orang Belanda menyebut mereka dengan sebutan Badoe’i, Badoej, Badoewi, Urang Kanekes, dan Rawayan, (Garna 1992; 2)
Kondisi alam suku baduy terdiri dari bukit-bukit yang tersusun berjajar, sehingga untuk berjalan dari satu desa ke desa lainya membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak, apalagi jarak antara desa satu dan desa yang lain jaraknya cukup jauh. Masyarakat suku Baduy sangat mematuhi aturan adat mereka, mereka dilarang menggunakan kendaraan dan menggunakan listrik, serta berbagai aturan-aturan adat lainya, oleh karena itu, masyarakat baduy sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal masyarakatnya.
Kearifan lokal masyarakat baduy menjadi sangat menarik untuk dibahas mengingat masih adanya eksistensi sebuah suku pedalaman di tengah gempuran arus modernisasi dan globalisasi, bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk menjaga agar nilai-nilai kearifan lokal tersebut dapat dipertahankan dan terus dilestarikan, Tentunya akan ada banyak hambatan dalam melaksanakan nilai-nilai kearifan lokal tersebut, kearifan lokal masyarakat Baduy menjadi sebuah kajian yang akan kami bahas lebih jauh, mengingat pentingnya menerapkan nilai-nilai kearifan lokal yang saat ini sudah banyak dilupakan oleh banyak orang. Melalui suku Baduy ini diharapkan kita dapat mengetahui nilai-nilai kearifan lokal masyarakatnya yang nantinya dapat kita jadikan contoh yang baik untuk keberlangsungan hidup bermasyarakat.

2.      Analisis
a.      Kearifan Lokal Suku Baduy Dalam
Sistem perekonomian Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup, artinya aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan diproduksi serta dikonsumsi dilingkungan Baduy sendiri. Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah bertani atau bercocok tanam.Seluruh masyarakat di Baduy belajar untuk bekerja di pertanian sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Di Baduy terdapat aturan dalam pertanian yang diikuti oleh masyarakatnya. Ada waktu dimana mereka harus mengolah tanah, menanam, maupun memanen hasil pertaniannya. Sistem pertanian disana adalah dengan sistem berladang dan berkebun. Pada masa dimana mereka tidak sedang bekerja di ladang, Baduy laki-laki bekerja di hutan untuk berburu dan memanen madu, sementara Baduy wanita bekerja menenun dirumah untuk membuat baju, selendang, sarung, serta kerajinan tangan seperti tas.
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Nilai-nilai kearifan masyarakat baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy memupuk tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik, sebuah nilai kearifan lokal masyarakat baduy yang tidak mau merusak alam dengan menggunakan bahan kimia, berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat, tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia dalam pupuk yang digunakan. Selain itu Penanggulangan hama padi pada masyarakat Baduy bersifat mengusir daripada membunuh. Dalam bertani, mereka selalu menjaga keselarasan dengan alam, bukannya melawan alam. Maka dari itu, dalam penanggulangan hama padi huma, masyarakat Baduy lebih memilih racikan biopestisida dan rawun pare daripada pestisida pabrikan yang dianggap dapat meracuni dan merusak lingkungan. Upaya mengusir hama padi huma tersebut tampaknya cukup berhasil. Buktinya, kejadian puso panen padi huma akibat gangguan hama sangat jarang terjadi di Baduy. Mengapa demikian? Pasalnya, berbagai tumbuhan untuk biopestisida atau rawun pare orang Baduy dikenal secara ilmiah (etik) termasuk kategori tumbuhan pengusir hama (repellent).
Hasil panenan suku baduy yang berupa padi pun tidak boleh dijual, padi hanya untuk kebutuhan mereka saja, tidak diperjual belikan, mereka hanya menjual hasil panenan lainnya seperti pisang, durian, dll, aturan ini  juga dilaksanakan oleh semua masyarakat baduy. Untuk memenuhi kebutuhan tambahan mereka seperti biaya untuk upacara-upacara adat mereka menjual madu, kain songket, kerajinan-kerajinan tangan, tas, dll, uang yang didapatkan dari hasil itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, kebutuhan yang tidak mereka hasilkan seperti garam, minyak, serta bumbu-bumbu. Madu Baduy sangat terkenal di daerah Banten karena tidak dicampur dengan bahan lainnya, sehingga sering disebut madu asli. Mereka menjual madu dan hasil kerajinan lainnya sampai ke kota.
Kehidupan mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu mementingkan harta, yang penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan dan kebutuhuan penting lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang ini jarang bisa ditemui lagi mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka cari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.
Ada dua sistem pemerintahan yang digunakan oleh masyarakat Baduy, yaitu struktur pemerintahan nasional yang mengikuti aturan negara Indonesia dan struktur pemerintahan adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercayai oleh masyarakat. Kedua sistem pemerintahan tersebut digabungkan dan dibagi perannya sedemikian rupa sehingga tidak ada benturan dalam menjalankan tugasnya. Seluruh masyarakat Baduy paham dan saling menghargai terhadap kedua sistem tersebut, sehingga mereka tahu harus kemana jika ada urusan atau permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung.
Kemampuan masyarakat baduy yang bisa menjalankan dua sistem pemerintah baik itu sistem adat dan sistem pemerintahan nasional, merupakan bukti kemampuan hebat yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal masyarakat untuk tetap melestarikan adat istiadat tetapi juga tetap menggunakan sistem pemerintahan nasional sebagai rasa nasionalisme warga masyarakat baduy. Menggunakan dua sistem kepemerintahan sekaligus tentunya jelas akan banyak hambatan  yang ada dalam pelaksanaanya karena bisa saja aturan yang ada saling tumpang tindih atau bahkan berbenturan, tetapi kemampuan masyarakat Baduy untuk memposisikan dirinya menjadi salah satu kunci keberhasilan dua sistem ini digunakan secara bersamaan.
Suku Baduy sangat memegang teguh pikukuh karuhun, yakni suatu doktrin yang mewajibkan mereka melakukan berbagai hal sebagai amanat leluhurnya (Kurnia, 2010: 28) Pikukuh karuhun tersebut antara lain mewajibkan mereka untuk:
1.      Bertapa Bagi Kesejahtraan dan Keselamatan Pusat Dunia dan Alam Semesta.
2.      Memelihara Sasaka Pusaka Buana.
3.      Mengasuh Ratu Memelihara Menak.
4.      Menghormati Guriang dan Melaksanakan Muja.
5.      Mempertahankan dan Menjaga Adat Bulan Kawalu
6.      Menyelenggarakan dan Menghormati Upacara Adat Ngalaksa
7.      Melakukan Upacara Seba Setahun sekali.
Upacara Seba sudah menjadi tradisi yang sifatnya wajib dilaksanakan setahun sekali pada bulan Safar awal tahun baru sesuai dengan penanggalan adat Baduy (berkisar bulan April-Mei pada tahun Masehi). Tujuan dari kegiatan ini adalah ekspresi rasa syukur dan penghormatan Suku Baduy kepada Pemerintah. Bentuk rasa syukur dan penghormatan ini dengan mempersembahkan sesuatu yang dianggap berharga (sesaji, dalam konteks ini adalah hasil panen) bagi Suku Baduy untuk diberikan kepada Pemerintah (dalam hal ini Bupati Kabupaten Lebak).
Adapun mitos dibalik Upacara Seba yaitu Bhatara Tunggal dipercaya oleh Suku Baduy sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Tempat kediamannya terletak di hulu sungai Ciujung dan Cisimeut. Tempat keramat tersebut oleh Suku Baduy dinamakan Arca Domas, yang tertutup bagi siapapun kecuali pemimpin Suku Baduy atau Puun (Rafiudin, 1995: 21).
Sungguh sebuah nilai kearifan lokal dimana tujuan upacara seba adalah sebagai rasa ucap syukur kepada pemerintah, masyarakat baduy memberikan hasil panenanya kepada pemerintah dengan tulus dan tanpa mengharapkan imbalan tertentu. Begitu arif masyarakat Baduy, padahal masyarakat baduy sendiri hampir dipastikan jarang mendapat perhatian dari pemerintah, karena memang masyarakat baduy menutup diri dari lingkungan luar, tetapi mereka tetap mengadakan upacara sebagai bentuk rasa syukur mereka kepada pemerintah, bayangkan pada kebanyakan masayarakat indonesia saat ini, mereka mendapat perhatian yang banyak dari pemerintah, mereka banyak menikmati fasilitas publik, rumah sakit, sekolah, jalan raya, dll tetapi apa mereka pernah mengadakan sebuah acara sebagai rasa syukur mereka kepada pemerintah? Jarang, bahkan sulit ditemukan, mereka banyak yang hanya mengkritik pemerintah, tetapi suku Baduy, yang jarang diperhatikan, tidak banyak memanfaatkan dan menerima fasilitas publik, mereka tetap bersyukur, begitu jelas terlihat bagaimana nilai-nilai kearifan lokal yang mereka junjung.
b.      Kearifan Lokal Suku Baduy Luar
Masyarakat Baduy Luar merupakan masyarakat yang telah diasingkan dari Baduy Dalam. Ada beberapa alasan mengapa mereka diasingkan antara lain adalah hal tersebut merupakan keinginan mereka sendiri untuk meninggalkan wilayah Baduy Dalam, mereka telah melanggar adat istiadat yang berlaku di masyarakat Baduy Dalam, ataupun kerena mereka menikah dengan orang Baduy Luar. Ciri-ciri khas masyarakat:
a.       Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
b.      Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam. (BL)
c.       Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. (BL)
d.      Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. (BL)
Kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Baduy Luar pada dasarnya masih memiliki kesamaan dengan kebiasaan dan adat istiadat masyarakat Badut Dalam akan tetapi masyarakat Baduy Luar telah mengenal dan menggunakan teknologi, dapat menggunakan kendaraan sebagai alat transportasi, diperbolehkan menggunakan alas kaki, alat untuk membuat rumah pun sudah menggunakan gergaji, paku, palu dan lain sebagainya yang dalam masyarakat Baduy Dalam itu tidak diperbolehkan. Untuk membedakan masyarakat suku Baduy Dalam dan suku Baduy Luar itu dapat dilihat dari pakaian mereka, jika masyarakat suku Baduy Dalam menggunakan pakain sampai ikat kepala berwarna putih, suku Baduy Luar menggunakan pakaian serba hitam hal itu karena mereka dianggap sudah tidak suci lagi bahkan masyarakay suku Baduy Luar sebagian besar telah menggunakan pakaian modern. Mata pencaharian mereka adalah bertani, menenun, membuat pakaian ciri khas suku Baduy Luar, ataupun membuat pernak-pernik ciri khas suku Baduy.
Baduy Panamping ( Baduy Luar ), Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Mereka memiliki ciri sebagai berikut: berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena mereka masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat. Jenis kendaraan apapun harus ditinggalkan Desa Cibolegar dan mulailah Anda menjelajahi alam Baduy dengan berjalan kaki. Suasana di kawasan Baduy sangat sejuk dan alami, tidak ada polusi udara dan pencemaran lingkungan. Perjalanan dari kampung ke kampung lainnya dilalui lewat jalan setapak yang kadang-kadang melintasi sungai dan bukit-bukit atau melewati jembatan bambu berkonstruksi alami tanpa menggunakan paku.
Berada di perkampungan Baduy terasa seperti kita berada dalam suasana zaman dahulu. Masyarakatnya masih hidup dalam nilai-nilai tradisional yang kental, tidak ada sentuhan teknologi modern sama sekali. Jika malam tiba suasana hening, tenang dan gelap datang menyergap. Tidak ada gemerlapan cahaya lampu listrik, yang ada hanya kedipan sinar yang berasal dari lampu teplok yang diisi dengan minyak kelapa atau minyak jarak dengan sumbu sabut kelapa. Di perkampungan ini yang terdengar hanyalah suara alam dengan gemericik air dari sungai yang berbatuan, suara kicau burung dan desau angin menerpa dedaunan.
Ada beberapa hal yang menarik tentang masyarakat Suku Baduy adalah cara hidup mereka yang benar-benar menjaga kelestarian alam. Adapun prinsip hidup masyarakat Baduy yang selaras dengan alam adalah petatah-petitih masyarakat adat Baduy yaitu:
1.      Gunung tak diperkenankan dilebur
2.      Lembah tak diperkenankan dirusak
3.      Larangan tak boleh di rubah
4.      Panjang tak boleh dipotong
5.      Pendek tak boleh disambung
6.      Yang bukan harus ditolak
7.      Yang jangan harus dilarang
8.      Yang benar haruslah dibenarkan
artinya:
1.      gunung tak boleh dihancurkan
2.      lembah tak boleh dirusak
3.      larangan tak boleh dilanggar
4.      buyut tak boleh diubah
5.      panjang tak boleh dipotong
6.      pendek tak boleh disambung
7.      yang bukan harus ditiadakan
8.      yang jangan harus dinafikan
9.      yang benar harus dibenarkan
Bukti bahwa masyarakat Baduy luar juga hidup berdampingan dengan alam secara harmonis yaitu masyarakat Baduy sangat menjaga air agar selalu jernih dan bersih sehingga bisa dipakai untuk kehidupan sehari-hari. Masyarakat Baduy luar yang sebagian sudah memiliki kamar mandi maupun WC dirumah panggungnya, memiliki aturan untuk tidak membuang sampah, menggunakan sabun, deterjen dan bahan-bahan kimia lain yang dapat mengotori sungai. Selain itu, pembagian area-area dalam pemanfaatan sungai juga merupakan sebuah konsep dalam memperhatikan daya pulih air. Setiap kampung telah memiliki area-area khusus dalam pemanfaatan sungai. Area sungai untuk mandi, mencuci, buang air dan konsumsi memiliki areanya masing-masing sehingga masyarakat memperoleh air yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan.
Masyarakat Baduy luar maupun dalammenyimpan hasil panen padi huma di sebuah leuit, lumbung padi. Leuit dibangun di pinggiran tiap kampung. Setiap keluarga memiliki leuit. Leuit adalah wujud pemahaman masyarakat Baduy tentang ketahanan pangan. Kondisi adanya leuit membuat masyarakat Baduy tidak kekurangan bahan pangan. Selain itu, apabila masyarakat Baduy akan menggunakan kayu maka kayu yang akan dipakai adalah kayu kayu yang telah kering dan tua. kayu bakar tersebut diperoleh dari pohon yang sudah dimakan rayap atau batang pohon dan ranting yang jatuh terserak. Masyarakat Baduy tidak menebang pohon untuk kayu bakar. Kearifan lokal ini menjadikan Baduy dan hutan di sekitarnya hidup harmonis selama ratusan tahun.
Untuk menjaga kemurnian adat dari pencemaran budaya luar yang dibawa para wisatawan dalam mengunjungi kawasan pemukiman kaum Baduy, sesekali jaro (kepala desa) Baduy Dalam melakukan sidak ke desa Baduy Luar. Itu untuk meneliti apakah ada benda-benda yang bisa melunturkan kepercayaan mereka. Mereka kadang menyita radio yang dianggap melunturkan kepercayaan adat mereka. Selama ini, tanpa bunyi sepeda motor, radio, televisi dan mesin apa saja apa saja yang menimbulkan asap dan bunyi-bunyian, maka desa-desa Baduy adalah titik tenang. Bunyi gemeletak alat penenun menjadi irama lembut yang menemani keheningan alam di sana.
Akan tetapi, amatlah sukar menjaga keheningan tetap bertahan dalam dunia modern yang serba hiruk pikuk ini.  Misalnya kini, mulai tampak anak-anak Baduy yang “meninggalkan” pakaian tradisional mereka, berupa kain tenunan tangan dengan warna hitam dan putih, dengan memakai kaos ala seragam kesebelasan sepakbola Italia yang “berteriak” dengan warna-warni meriah. Mereka yang selama ini menabukan jual beli dan penggunaan uang, dengan menetapkan pola barter, akhirnya mulai terlibat proses dagang. Kaum Baduy Luar misalnya,  telah lama menjual kain sarung yang mereka tenun, selain juga menjual madu dan gula kelapa pada orang-orang luar yang berada di sekitar kawasan tempat tinggal mereka. Ini terjadi karena mereka butuh uang kontan untuk membeli ikan asin, garam, dan berbagai kebutuhan yang tak bisa mereka hasilkan sendiri.
3.      Simpulan
Kearifan lokal merupakan pengetahuan masyarakat berdasarkan pengalaman yang menjadikan kebiasaan  serta mewujudkan menjadi kebudayaan dan diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyangnya (Baramuli et al. 1996 : 38). Secara sederhana dapat diartikan sebagai kebijakan setempat atau cara berfikir masyarakat berdasarkan pengetahuannya.
Nilai-nilai kearifan masyarakat baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy memupuk tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik, sebuah nilai kearifan lokal masyarakat baduy yang tidak mau merusak alam dengan menggunakan bahan kimia, berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat, tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia dalam pupuk yang digunakan.
Kehidupan mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu mementingkan harta, yang penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan dan kebutuhuan penting lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang ini jarang bisa ditemui lagi mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka cari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.
Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip hidup sehari-hari.
Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung. Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang. Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh yang menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah.

4.      Referensi
Garna, Judistira K. 1992. Orang Baduy Dari Kanekes: Ketegaran Dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Makalah Seminar Sehari Dengan Orang Baduy). Bandung: Museum Negeri Jawa Barat.
Kurnia, Asep dan Ahmad Sihabudin. 2010. Saatnya Baduy Bicara. Jakarta: Bumi Aksara.
Rafiudin, Apip Apriadi. 1995. “Masyarakat Baduy (Studi Deskriptif di Desa Cibeo, Jawa Barat)”. Skripsi S-1 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar