CERITA GUNUNG KARANG BANTEN
Salah satu
gunung berapi aktif di Jawa Barat ialah Gunung
Karang , terletak di Kabupaten
Pandeglang, sekitar 20 km sebelah selatan kota Serang. Tidak ada sejarah
letusan nan dapat ditemukan, namun data arkeologis memasukkan gunung ini ke
dalam kelompok gunung stratovolkano nan memiliki potensi meletus.
Memiliki
puncak setinggi 1.778 m dpl, lebih dikenal sebagai gunung wisata ziarah. Pada
bulan-bulan tertentu, biasanya bulan Maulid (Rabiul Awal), jumlah pengunjungnya
melonjak tajam. Mereka kebanyakan peziarah nan ingin menziarahi petilasan Tb
Jaya Raksa, sesepuh Kerajaan Banten nan terletak di Desa Kaduengang.
Melihat
Gunung Karang nan terbaring diam di Pandeglang, tidak hiperbola jika kita
menjulukinya sebagai raksasa nan tengah tertidur tenang, dengan berbagai
potensi nan terpendam dalam. Bukan saja sebab potensi letusan sebagai gunung
berapi aktif, namun juga potensi wisata nan masih belum tergali secara
maksimal.
Kawasan lereng gunung Karang menyimpan banyak
tempat–tempat nan dikeramatkan, diantaranya makam seorang raja, pertapa dan
lain-lain. Di kanan kiri jalan setapak nan kita lalui tumbuh pohon-pohon
raksasa nan umurnya mungkin sudah ratusan tahun, gelapnya kabut membuat
cabang-cabang pohon tersebut seperti tangan-tangan raksasa nan siap mencengkram
manusia-manusia nan bermaksud jahil di kawasan ini.
Di atas gunung ini ada keajaiban alam nan mungkin sporadis
di temukan di tempat-tempat nan lain. Umumnya sebuah mata air sering kita
jumpai di kawasan lereng atau di kaki sebuah gunung, namun di gunung Karang
mata air tersebut benar-benar muncul di puncang gunung tersebut. Mata air
tersebut muncul menjadi tujuh sumber, nan oleh penduduk sekitar disebut dengan
nama sumur tujuh.
Khasiat dari air sumur tersebut ialah buat membersihkan diri
dari gangguan energi-energi negatif. Caranya ialah dengan berdoa dan mandi
keramas di sumber air tersebut. Bagi nan mata batinnya sudah terasah dengan
baik, dapat menyaksikan fenomena-fenomena mistik di loka ini. Ketika berada di
pucak gunung ini, Anda akan disambut dengan hawa dingin nan menggigit. Terutama
jika sedang mendaki gunung ini terjadi hujan angin nan sangat lebat dan
terkesan mengerikan.
Untuk mencapai puncak gunung Karang, selama ini dikenal dua
jalur pendakian. Jalur pertama biasa disebut jalur Kadeungang. Dengan menempuh
jalur ini, diperlukan sekitar 4-5 jam buat mencapai puncak gunung.
Jalur kedua ialah jalur Pager Watu atau Ciekek. Jalur ini
lebih landai dibandingkan jalur Kadeungang, namun memerlukan waktu tempuh nan
lebih lama, yaitu sekitar tujuh jam. Karena itu, jalur Pager Watu tak begitu
populer di kalangan para pendaki.
Di jalur Kadeungang, terdapat petilasan Tb Jaya Raksa.
Sebelum melanjutkan pendakian, biasanya para wisatawan menyempatkan diri berziarah
ke sini. Barulah setelah itu menuju ke Pos Pendakian 2 nan memakan waktu
sekitar satu jam. Dalam perjalanan menuju Pos Pendakian 2, wisatawan dapat
menikmati pemandangan Selat Sunda dan samar-samar terlihat anak Gunung
Krakatau.
Sebelum mencapai Pos Pendakian 3, sebelumnya melewati Batas
Vegetasi Hutan. Selepas Pos Pendakian 3, akan ditemukan persimpangan; ke kiri
menuju Sumur Tujuh, dan ke kanan menuju Curug Nangka. Dengan melanjutkan
perjalanan mengikuti jalur ke kiri, sampailah di Sumur Tujuh, di puncak gunung
Karang.
Objek kunjungan wisata gunung Karang , nan paling banyak
menarik wisatawan ialah kolam renang Cikoromoy. Daya tarik kolam renang ini
ialah sebongkah batu besar di dasar kolam nan memiliki ukiran huruf Arab, dan
diperkirakan telah berusia lebih dari 500 tahun. Sebagian orang percaya bahwa
dengan berendam di dalamnya akan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Ahli sejarah kepurbakalaan konfiden bahwa batu bertulisan
huruf-huruf Al-Qur'an nan ada di batu-batu di dasar kolam Cibulakan, sengaja
dibuat oleh pengikut Sultan Banten dalam rangka syiar Islam. Batu-batu itu
telah dijadikan media pengikut Sultan buat warga Banten tentang bagaimana
menghormati air buat diminum, bagaimana menghormati air buat dijadikan wudhu,
dan bagaimana menjadikan air sebagai kapital kehidupan.
Batu-batu
berhuruf arab itu, lebarnya hanya sekitar 2 meter. Di pinggiran batu tersebut,
terdapat sejumlah mata air nan deras dan bening airnya. Di lokasi itulah pula,
pengunjung sering berlama-lama berendam.
Batu Qur'an nan lebarnya hanya sekitar dua meter dan diapit
beberapa sumber mata air itu diyakini merupakan peninggalan Ki Mansyur, kerabat
Raja Banten nan menjadi ulama. Ki Mansyur sangat cakap dalam ilmu pertanian dan
piawai dalam olah seni nan dijadikannya media menyebarkan agama Islam.
Selama masa penugasannya, Ki Mansyur mewariskan banyak
ilmunya kepada warga Banten Selatan. Salah satu ilmu kesenian bernafaskan Islam
nan ditinggalkannya dan hingga kini masih lestari ialah seni Rampak Bedug,
kesenian tradisional nan mulanya digunakan warga Pandeglang hanya di bulan
Ramadhan buat membangunkan warga makan sahur. Kesenian itu juga digunakan
sebagai alat buat mengumpulkan massa menjelang Ki Mansyur menyampaikan
pesan-pesan atau tugas kepada warga. Ki Mansyur juga mewariskan ilmu debus,
kesenian nan inti sarinya bersumber dari Al-Qur'an, buat penyebaran Islam.
Setiap libur, terutama sekali jika Maulid Nabi Muhammad
tiba, puluhan bus ukuran besar dari berbagai kota parkir di lokasi wisata
penziarahan makam Ki Mansyur di Cikaduen, Pandeglang. Setelah mengunjungi makam
Ki Mansyur, para wisatawan juga kerap menyempatkan diri berendam di kolam
Cibulakan. Ketika pulang, pengunjung pun membawa oleh-oleh botol berisi air
dari kolam Cibulakan. Dan kegiatan itu sepertinya sudah menjadi tradisi nan
berlangsung lama. Hasilnya pun menakjubkan. Karena sangat yakin, air kolam
pemandian batu Qur'an dapat dijadikan obat, banyak pengunjung nan semula menderita
penyakit kulit kini sembuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar