Selasa, 01 Desember 2015

CERITA GUNUNG KARANG BANTEN

CERITA GUNUNG KARANG BANTEN
Salah satu gunung berapi aktif di Jawa Barat ialah Gunung Karang , terletak di Kabupaten Pandeglang, sekitar 20 km sebelah selatan kota Serang. Tidak ada sejarah letusan nan dapat ditemukan, namun data arkeologis memasukkan gunung ini ke dalam kelompok gunung stratovolkano nan memiliki potensi meletus.
Memiliki puncak setinggi 1.778 m dpl, lebih dikenal sebagai gunung wisata ziarah. Pada bulan-bulan tertentu, biasanya bulan Maulid (Rabiul Awal), jumlah pengunjungnya melonjak tajam. Mereka kebanyakan peziarah nan ingin menziarahi petilasan Tb Jaya Raksa, sesepuh Kerajaan Banten nan terletak di Desa Kaduengang.
Melihat Gunung Karang nan terbaring diam di Pandeglang, tidak hiperbola jika kita menjulukinya sebagai raksasa nan tengah tertidur tenang, dengan berbagai potensi nan terpendam dalam. Bukan saja sebab potensi letusan sebagai gunung berapi aktif, namun juga potensi wisata nan masih belum tergali secara maksimal.
Kawasan lereng gunung Karang menyimpan banyak tempat–tempat nan dikeramatkan, diantaranya makam seorang raja, pertapa dan lain-lain. Di kanan kiri jalan setapak nan kita lalui tumbuh pohon-pohon raksasa nan umurnya mungkin sudah ratusan tahun, gelapnya kabut membuat cabang-cabang pohon tersebut seperti tangan-tangan raksasa nan siap mencengkram manusia-manusia nan bermaksud jahil di kawasan ini.
Di atas gunung ini ada keajaiban alam nan mungkin sporadis di temukan di tempat-tempat nan lain. Umumnya sebuah mata air sering kita jumpai di kawasan lereng atau di kaki sebuah gunung, namun di gunung Karang mata air tersebut benar-benar muncul di puncang gunung tersebut. Mata air tersebut muncul menjadi tujuh sumber, nan oleh penduduk sekitar disebut dengan nama sumur tujuh.
Khasiat dari air sumur tersebut ialah buat membersihkan diri dari gangguan energi-energi negatif. Caranya ialah dengan berdoa dan mandi keramas di sumber air tersebut. Bagi nan mata batinnya sudah terasah dengan baik, dapat menyaksikan fenomena-fenomena mistik di loka ini. Ketika berada di pucak gunung ini, Anda akan disambut dengan hawa dingin nan menggigit. Terutama jika sedang mendaki gunung ini terjadi hujan angin nan sangat lebat dan terkesan mengerikan.
Untuk mencapai puncak gunung Karang, selama ini dikenal dua jalur pendakian. Jalur pertama biasa disebut jalur Kadeungang. Dengan menempuh jalur ini, diperlukan sekitar 4-5 jam buat mencapai puncak gunung.
Jalur kedua ialah jalur Pager Watu atau Ciekek. Jalur ini lebih landai dibandingkan jalur Kadeungang, namun memerlukan waktu tempuh nan lebih lama, yaitu sekitar tujuh jam. Karena itu, jalur Pager Watu tak begitu populer di kalangan para pendaki.
Di jalur Kadeungang, terdapat petilasan Tb Jaya Raksa. Sebelum melanjutkan pendakian, biasanya para wisatawan menyempatkan diri berziarah ke sini. Barulah setelah itu menuju ke Pos Pendakian 2 nan memakan waktu sekitar satu jam. Dalam perjalanan menuju Pos Pendakian 2, wisatawan dapat menikmati pemandangan Selat Sunda dan samar-samar terlihat anak Gunung Krakatau.
Sebelum mencapai Pos Pendakian 3, sebelumnya melewati Batas Vegetasi Hutan. Selepas Pos Pendakian 3, akan ditemukan persimpangan; ke kiri menuju Sumur Tujuh, dan ke kanan menuju Curug Nangka. Dengan melanjutkan perjalanan mengikuti jalur ke kiri, sampailah di Sumur Tujuh, di puncak gunung Karang.
Objek kunjungan wisata gunung Karang , nan paling banyak menarik wisatawan ialah kolam renang Cikoromoy. Daya tarik kolam renang ini ialah sebongkah batu besar di dasar kolam nan memiliki ukiran huruf Arab, dan diperkirakan telah berusia lebih dari 500 tahun. Sebagian orang percaya bahwa dengan berendam di dalamnya akan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Ahli sejarah kepurbakalaan konfiden bahwa batu bertulisan huruf-huruf Al-Qur'an nan ada di batu-batu di dasar kolam Cibulakan, sengaja dibuat oleh pengikut Sultan Banten dalam rangka syiar Islam. Batu-batu itu telah dijadikan media pengikut Sultan buat warga Banten tentang bagaimana menghormati air buat diminum, bagaimana menghormati air buat dijadikan wudhu, dan bagaimana menjadikan air sebagai kapital kehidupan.
Batu-batu berhuruf arab itu, lebarnya hanya sekitar 2 meter. Di pinggiran batu tersebut, terdapat sejumlah mata air nan deras dan bening airnya. Di lokasi itulah pula, pengunjung sering berlama-lama berendam.
Batu Qur'an nan lebarnya hanya sekitar dua meter dan diapit beberapa sumber mata air itu diyakini merupakan peninggalan Ki Mansyur, kerabat Raja Banten nan menjadi ulama. Ki Mansyur sangat cakap dalam ilmu pertanian dan piawai dalam olah seni nan dijadikannya media menyebarkan agama Islam.
Selama masa penugasannya, Ki Mansyur mewariskan banyak ilmunya kepada warga Banten Selatan. Salah satu ilmu kesenian bernafaskan Islam nan ditinggalkannya dan hingga kini masih lestari ialah seni Rampak Bedug, kesenian tradisional nan mulanya digunakan warga Pandeglang hanya di bulan Ramadhan buat membangunkan warga makan sahur. Kesenian itu juga digunakan sebagai alat buat mengumpulkan massa menjelang Ki Mansyur menyampaikan pesan-pesan atau tugas kepada warga. Ki Mansyur juga mewariskan ilmu debus, kesenian nan inti sarinya bersumber dari Al-Qur'an, buat penyebaran Islam.
Setiap libur, terutama sekali jika Maulid Nabi Muhammad tiba, puluhan bus ukuran besar dari berbagai kota parkir di lokasi wisata penziarahan makam Ki Mansyur di Cikaduen, Pandeglang. Setelah mengunjungi makam Ki Mansyur, para wisatawan juga kerap menyempatkan diri berendam di kolam Cibulakan. Ketika pulang, pengunjung pun membawa oleh-oleh botol berisi air dari kolam Cibulakan. Dan kegiatan itu sepertinya sudah menjadi tradisi nan berlangsung lama. Hasilnya pun menakjubkan. Karena sangat yakin, air kolam pemandian batu Qur'an dapat dijadikan obat, banyak pengunjung nan semula menderita penyakit kulit kini sembuh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar